B.2. Potensi di Kawasan Perbatasan
Kabupaten Kepulauan Aru terbentuk berdasar Undang-Undang Nomor 30 tahun 2003. Kabupaten ini memiliki luas wilayah ± 6.325 km2 dengan tujuh buah kecamatan (BPS, 2011), serta 187 pulau (Kompas, 2004) dengan ibu kota Aru berkedudukan
di Dobo. Secara administratif, sebelah
utara kepulauan
ini berbatasan dengan Laut Aru, sebelah timur berbatasan dengan Laut Aru,
sebelah selatan berbatasan dengan Laut Arafura, dan sebelah barat berbatasan
dengan Laut Arafura (BPS, 2011).
Menurut Litbang Kompas
(2004), tepatnya pada zaman es di saat permukaan laut lebih rendah,
daerah ini bersambungan dengan Papua dan Australia menjadi daratan yang
sangat luas. Ratusan juta tahun setelah zaman es berakhir, Australia telah menjadi benua di selatan, Papua
menjadi pulau besar tersendiri, adapun Aru berserakan menjadi pulau-pulau kecil yang mengapung di laut biru.
Gambar. Peta Kabupaten
Kepulauan Aru, Maluku
Sumber: Lampiran III UU RI No. 40 tahun 2003 (Peta di snapshot dari file PDF tanpa memperhatikan
skala)
Dalam laporan etnografi Melalatoa (1995) permukaan
kepulauan ini tidak bergunung-gunung dan tidak ada pula dataran tinggi.
Tanahnya subur dengan ditutupi hutan primer. Dahulu padang ilalang yang terhampar
luas digunakan hidup kawanan rusa. Melalatoa melaporkan, Orang Aru memiliki 10
bahasa besar, salah satu diantaranya adalah bahasa Siwalima. Bahasa Siwalima
adalah rumpun bahasa Maluku yang hingga sekarang memiliki empat dialeg. Sebagai
masyarakat nelayan, Orang Ayu piawai dalam mengarungi laut Banda dan laut
Arafuru. Ragam pekerjaan yang dikuasai adalah budidaya rumput laut, beternak
kerang mutiara, dan sebagian kecil sebagai petani dan peramu sagu. Makanan khas
Orang Aru adalah sagu dan umbi-umbian. Adapun agama yang dipeluknya adalah
agama Islam, dan sebagian memeluk agama Kristen, serta sistem kepercayaan
leluhur masih terwujud dalam kehidupan mereka.
Masyarakat dikepualuan Aru merupakan
masyarakat yang secara ekonomi adalah kategori kawasan kepulauan perbatasan
tertinggal (SIS PDT, 2011). Tercatat jumlah penduduk miskin sejumlah 29.400
orang (SIS PDT, 2012) dan jumlah keluarga sebanyak 19.736 KK (Podes, BPS, 2012)
dari 83.269 jiwa jumlah penduduknya (BPS, 2011). PDRB tahun 2009 sejumlah
197,28 milyar, namun pada tahun 2010 hanya sejumlah 34, 996 milyar (BPS, 2011).
Penjelasan tentang kenapa fluktuasi PDRB terjadi, belum penulis temukan. Jumlah
Puskesmas Utama dan Pembantu yaitu sejumlah 40 unit (Podes BPS, 2011). Tercatat
terdapat 32.414 penduduk angkatan kerja (Sakernas, BPS, 2009), menganggur
mencapai 1.905 jiwa (Sakernas, BPS, 2009), 99,05 % melek huruf (Susenas BPS,
2010), dan angka partisipasi sekolah mencapai 90 indeks (SIS PDT, 2012).
Pada tahun 2010, hanya empat desa yang dapat dilalui
mobil. Kemudian pada tahun 2011, terdapat tujuh desa yang beraspal dari 119
desa secara keseluruan (Podes BPS, 2011). Prosentase keluarga yang menggunakan
listrik adalah 44,22% (Podes BPS, 2010), pengguna telepon sebanyak 2,74 %
(Podes BPS, 2010), 99 buah bank umum dan
dua bank perkreditan rakyat (Podes BPS, 2011). Adapun fasilitas pasar dengan
bangunan permanen terdapat di 44 desa, selebihnya adalah pasar dengan bangunan
non permanen (Pode BPS, 2011).
Dalam hal kapasitas daerah Aru, terdapat dua hal yang menjadi indikator yaitu celah fiskal dan
pendaptan asli daerah. Menurut Departemen Keungaan (2010), celah fiskal di
Kepulauan Aru mencapai 228.7744 juta rupiah. Adapun pendapatan asli daerah
kepulauan ini (Pemda, 2010) mencapai 12.909.499 juta rupiah. Dalam hal
aksesibilitas, Kepuluan Aru cukup terbilang sulit. Hal ini dapat dilihat
rata-rata jarak dari kantor desa ke kantor kabupaten yang membawahi rata-rata
berjarak 96,18 km (Podes BPS, 2011). Adapun waktu tempuh ke pusat pelayanan
pemerintahan adalah 449,92 menit (Podes BPS 2008).
Kepuluan Aru memiliki karakteristik sebagai daerah pesisir dengan prosentase mencapai 98,32%.
Sepanjang tahun 2011 tidak ada catatan seius tentang bencana alam yang menimpa
pemukiman di desa Kepulauan Aru. Tercatat 14,29% dengan desa yang berpotensi
konflik (Podes BPS, 2011), 1.68% desa berpotensi tanah longsor, dan 0,84 desa
berpotensi banjir (SIS PDT 2012). Berbeda dengan Kompas (2012) telah melaporkan
terjadi gempa berkuatan 7 skala Richter yang mengguncang perairan Kepulauan
Aru. Kompas menuding, BMKG terlambat menginformasikan gempa, sehingga
masyarakat Aru mengalami ketidaksiapan dan kepanikan yang luar biasa dalam
merespon gempa. Kompas melaporkan, keterlambatan itu dikaenakan pihak BMKG
salah menekan tombol gempa berpotensi tsunami, padahal tidak.
Dalam hal ikon daerah, mutiara dan burung Cenderawasih
(BPS, 2011) telah menjadi ikon kepulauan ini. Potensi yang Aru juga didukung
dengan perairan laut dalam yang telah menjadi penyumbang tangkap ikan tuna dan
jenis makanan laut lainnya, dalam tahun 2010 saja terhitung sebanyak 519.006
ton (BPS, 2011), serta terdapat 57 titik potensi benda berharga muatan kapal
tenggelam (Dinas Kelautan dan Perikanan, 2011). Hingga sekarang, hanya 4 titik
saja telah mendapatkan ijin pengangkatan, itupun belum satupun benda berharga
muatan tenggelam yang telah di angkat dari peraian laut dalam ini.
Beragam potensi yang dimiliki Aru, sudah saatnya perlu
dikontekstualisasikan di era kekinian. Sehingga ekonomi lokal menguat dan
akhirnya kawasan perbatasan di Kapulauan Aru menjadi garda terdepan dalam
mengaktualisasi integrasi nasional.
Belum ada tanggapan untuk "Kontekstualisasi... Part 3"
Post a Comment